Secara literal, naskh bermakna
“mengganti sesuatu dengan sesuatu yang lain (dan) penghapusan.[1] Akan
tetapi dalam study al- Qur’an dan hukum Islam,naskh bermakna
verifikasi dan elaborasi berbagai model penghapusan yang berbeda. Teks yang
menjadi bukti gagasan tentang naskh adalah al- Qur’an surat
al- Baqoroh: 106
ما ننسخ من اية او ننسها نأت بخير
منها او مثلها الم تعلم أن الله على كل شيء قدير
“Ayat yang Kami batalkan atau Kami
hilangkan dari ingatan, pasti Kami gantikan dengan yang lebih baik atau yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?” Qs.
al- Baqoroh: 106
Selain itu, para ulama telah bertukar
pikiran membahas ta’rif dari naskhdan mendapatkan
kesimpulan sebagai berikut:
a. Naskh terkadang
bermakna izaalah(menghilangkan), seperti pada firman Allah dalam
Qs. al- Haj: 52 yang artinya “ maka Allahmenghilangkan apa yang
syaitan nampakkan, kemudian Allah menjelaskan ayat-ayatNya.”
b. Naskh terkadang
bermakna tabdil (mengganti/menukar) sebagaimana firman Allah
Qs. an- Nahl: 101 yang artinya “ dan apabila Kamimengganti atau menukar sesuatu
ayat di tempat suatu ayat.”
c. Naskh terkadang
bermakna tahwil (memalingkan), seperti memalingkan pusaka dari
seseorang kepada orang lain.[2]
d. Naskh terkadang
bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain seperti pada
perkataan “نسخت
الكتاب” yang artinya “ saya menukilkan isi kitab”, yaitu
apabila kita menukilkan apa yang ada di dalam kitab tersebut meniru lafadz dan
tulisannya.
e. Naskh secara
bahasa berarti membatalkan, sedang menurut istilah adalah
ابطال العمل بالحكم الشرعي بدليل
متراخ عنه
“Membatalkan pengamalan sesuatu hukum
syara’ dengan dalil yang datang kemudian.”[3]
Demikian beragamnya definisi dari
berbagai referensi yang masing-masing memiliki hujjah dan landasan, dan dari
semua definisi yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa naskh adalah
penggantian atau pemindahan suatu ketentuan hukum terdahulu dengan adanya
ketentuan hukum yang baru. Dan para ulama’ telah sepakat bahwa naskh atau
pembatalan hukum syara’ dalam al- Qur’an dan as- Sunnah hanya terjadi pada
zaman Rosul masih hidup, kecuali Abu Muslim al Ashfahany yang menyatakan tidak
ada naskh dalam ayat-ayat al- Qur’an.
Sebagaimana beragamnya definisi naskh,
mansukh pun demikian adanya. Dalam buku Study Ilmu-Ilmu al- Qur’an, dijelaskan
bahwa mansukhadalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Selain
itu, jika kita melihat dari kaidah shorfiyah maka mansukh adalah isim
maf’ul dari kalimat نسخ- ينسخ yang artinya dalam kamus al-
Bishri karya KH. Adib Bishri dan KH. Munawwir A. Fatah adalah menghilangkan,
menghapuskan, membatalkan dan menggantikan. Sehingga mansukh adalah
yang dihilangkan, yang dihapus, yang dibatalkan dan yang digantikan.
Sebuah ketentuan hukum bisa di-naskh hanya
jika memenuhi beberapa syarat, yakni[4]:
a. Hukum yang
di-naskh(dihilangkan atau dibatalkan) adalah hukum syar’i.
b. Hukum yang
me-naskh (membatalkan) datangnya lebih akhir dari yang di-naskh.
c. Khitab
(perintah atau larangan) suatu hukum yang di-naskh jangan bersifat
sementara atau hanya berlaku pada waktu tertentu karena keberlakuan hukum
tersebut berakhir pada waktu yang ditentukan tersebut (tanpa harus di-naskh).
Selain syarat di atas, para pendukung naskh mengakui
bahwa naskhbaru dilakukan apabila: a) terdapat dua ayat hukum yang
saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, b) harus diketahui
secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut sehingga yang lebih
dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang kemudian
sebagai nasikh.
2. Macam-Macam Naskh dan Mansukh
Pembagian naskh dan mansukh ada
empat, yakni[5]:
a. نسخ القران با لقران (Naskh al-
Qur’an dengan al- Qur’an).
Naskh jenis ini telah disepakati kebolehannya oleh para ulama’.
b. نسخ القران با لسنة (Naskh al-
Qur’an dengan Sunnah) yang mana dibagi lagi menjadi dua, (a) naskh al-
Qur’an dengan hadits ahad. Mengenai hal ini jumhur ulama’ berpendapat bahwa al-
Qur’an tidak boleh di-naskholeh hadits ahad, pasalnya al- Qur’an adalah
mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni bersifat dugaan. Di
samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas)
dengan yang maznun (diduga). (b) naskh al-
Qur’an dengan hadits mutawatir yang oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad hal ini
diperbolehkan, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Namun di samping itu
asy- Syafi’i, Ahli Dzahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti
ini dengan alasan bahwa hadits tidak lebih baik dan tidak sebanding dengan al-
Qur’an. Pendapat ini berkaca pada firmanNya Qs. al- Baqoroh: 106 yang artinya
“Apa saja ayat yang Kami naskhkan atau Kami jadikan(manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.
c. نسخ السنة بالقران (Naskh sunnah
dengan al- Qur’an) yang secara serentak Jumhur telah meyepakati kebolehannya.
Karena telah menjadi fakta bahwa al- Qur’an lebih kuat dibanding sunnah
sehingga tidak perlu diragukan keabsahannya.
d. نسخ السنة بالسنة (Naskh sunnah
dengan sunnah). Dalam kategori ini naskh mansukh masih dibagi
lagi menjadi empat: (1) naskh mutawatir dengan mutawatir,
(2) naskh ahad dengan ahad, (3) naskh ahad
dengan mutawatir, (4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk
pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti
halnya naskh al- Qur’an dengan hadits ahad yang tidak
dibolehkan oleh jumhur.
Selain pembagian naskh secara
umum ada juga pembagian naskh secara khusus, yakni
pembagian naskh dalam al- Qur’an. Naskh dalam
al- Qur’an oleh Abu Nizan dan Manna’ al- Qattan dibagi menjadi tiga macam
sebagai berikut:
1) نسخ التلاوة مع بقاء الحكم (lafadz
dihapus, hukum tetap)
Sebagai contoh adalah hukum rajam sampai mati bagi pezina
yang mana hukuman tersebut tidak ada di dalam al- Qur’an, tetapi dulu pernah
turun ayat al- Qur’an yang memuat hukum rajam sampai mati bagi pezina yang
kemudian tulisan/lafadznya dihapus sedangkan hukumnya tetap berlaku. Bunyi ayat
tersebut adalah sebagai berikut:الشيخ و الشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكالا من الله و الله
عزيز حكيم. (orang tua laki-laki dan perempuan apabila
keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.) sedangkan dalam al- Qur’an
hukuman bagi pezina adalah “pezina perempuan dan laki-laki, deralah
masing-masing dari keduanya seratus kali.” Qs. An- nuur: 2.
2) نسخ الحكم و بقاء التلاوة (hukum
dihapus, lafadz tetap)
Hukum suatu ayat telah dihapus, akan tetapi wujud tulisan
itu masih ada dalam al- Qur’an hingga sekarang. Contoh: naskh hukum
ayatiddah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap.
3) نسخ التلاوة و الحكم معا (tilawah
dan hukum keduanya dihapus )
Ayat ini pernah turun dan hukumnya pun pernah berlaku,
namun sekarang tidak lagi. Contoh: “Diantara yang diturunkan kepada beliau
adalah sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim, kemudian (ketentuan)
ini di-naskh oleh lima susuan yang maklum. Maka ketika Rosulullah saw wafat,
‘lima susuan’ ini termasuk ayat al- Qur’an yang dibaca.
3. Hikmah terjadinya Naskh dan Mansukh
Mempelajari, memahami dan
mendalami naskh mansukh bukan berarti tidak
memberikan faidah dan hikmah, akan tetapi terdapat hikmah yang luar biasa
memahaminya, antara lain adalah sebagai berikut:[6]
a) Memelihara
kemaslahatan hamba-hambaNya
b) Perubahan syari’at
yang selalu menuju kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan juga
perkembangan hidup manusia
c) Sebagai ujian
bagi manusia, apakah ia akan tunduk pada aturan yang telah ditentukan oleh
Allah swt ataukah ia akan melanggarnya
d) Merupakan kehendak
Allah swt untuk memberikan yang terbaik bagi hambaNya sekaligus memberikan
kemudahan dalam menjalankannya. Jika hukum naskh memberatkan
umatNya, Dia akan memberikan pahala yang lebih besar dan kalaulah dengan hukum
ini lebih meringankan, hal itu merupakan keringanan bagi hamba-hambaNya
Selain hikmah yang dijelaskan oleh Abu
Nizan di atas, Al- Maroghi[7]menjelaskan
bahwa hikmah adanya naskh mansukh dengan menyatakan
bahwa: “Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan
hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga
apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya
kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka
merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan)
dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia
menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk
hamba-hamba Allah.” Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat
yang diberikan dokter kepada pasien. Para Nabi dalam hal ini berfungsi sebagai
dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh
dokter.
4. Contoh Ayat Naskh dan Mansukh
As- Suyuti[8] dalam
al- itqan menyebutkan bahwa ada 21 ayat yang dipandang sebagai ayat-ayat mansukh.
Diantaranya adalah:
1) Firman Allah swt Qs. Al-
Baqarah: 115
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun
kamu menghadap di situlah wajah Allah.” Yang kemudian di-naskh oleh
firmanNya juga Qs. Al- Baqarah: 144
“sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada,
Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani)
yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke
Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan.” Ayat kedua me-naskhperintah
menghadap baitul maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
2) Firman
Allah swt Qs. Al- Baqarah: 184
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka
Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.” yang mana ayat ini di-naskh oleh Qs. Al- Baqarah: 185
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al- Quran sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir
(di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.”
3) Firman
Allah swt Qs. An- Nisa’: 15-16
Para wanita yang mengerjakan perbuatan
keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang
melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya,
kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” Kedua ayat ini
di-naskh oleh Qs. An- Nuur: 2